Monday, February 13, 2012
Suara Kapit : Ia Suara Bonda
Suara Kapit : Suara Bonda Yang Menyapa
Kuhayun langkah ke tebing
Saat deru enjin terhenti membising
ada yang mengusung lagu
juga menganyam tangis sendu
aku yang beku bicara
mengheret beg, tanpa sesiapa
sedang masing-masing punya cerita.
“Beri lalu, pinggirkan hadangan.”
terpaku pada segelintir tubuh menyapa
Tatoo penuh menghiasi badan
Samseng atau cuma pembantu, kuteka
Beg galas lantas dirampas, relakan
Budak-budak pengangkat barang hanya
menghimpun kisah menyambung kehidupan,
kukenal di antara mereka
muda, tua juga remaja dipastikan.
Di hujung wharf cerita berbeda
semua minggir usai bersahaja
menatap wajah dan pamit pula,
“Kenapa dengan mereka?”
Kuketap bibir mengalih mata
“Malapetaka.” Ulas mereka.
Sang pengangkat barang, juga
penyambut tetamu yang setia
kelibatnya persis sudah tiada
ibu tua berusaha cuma
mengusir hanyir menyentap dada
sedang anaknya sedar mungkin lena.
Katanya, “Selamatkan anakku,
kelak kamu akan dibantu.”
Di celah awan berarak mega
Ibu tua bernada tangisnya,
“Inilah nasib bonda,
Anak tunggal mungkinkan tiada
harusku juga membayar harganya
walau situasi amat memaksa.”
Di sini semua petah berbeza
masing-masing acap bertarung nyawa
menjadi pembalak tinggi asetnya
serba-serbi bermain bencana
ada yang hilang upaya
tidak kurang hancur kepala
banyak yang sirna nyawa
yang tinggal menanggung luka.
Moga-moga aku bangkit dari lena secepatnya.
Wharf Ekspress Kapit
07 Januari 2012
Frankie latit
Valentine Tiba, Ceriteranya Serupa.
Kelopak bunga yang gugur
Kukutip untuk kesekian waktu
sangkutkan ke tangkai semula
sang kumbang tersenyum lebar
saat kuletak ditelapakmu,
“Akanku selalu ada,” Bisiknya.
Kala musim dengan roda
sirna bersama sang rama-rama
terkulai layu, ia bukan cerita kita.
Tika malam tanpa purnama
kukaut sekalipun cebisannya
kejapkan di celah ranting masa
sang kunang-kunang pun riang ria
saat kuhimpun di celah sanggulmu,
“Kukan selalu begitu,
menyirna resah di bibirmu.”
Sedang, alismu tanpa bicara
Kutahu kau bahagia.
Kekasihku,
saatnya tiba tanpa dipinta
jejak rindu di Febuari waktu
kisahnya sama, wataknya tak berbeza
aku adalah kumbang buatmu
sang kunang-kunang yang setia
jauh dan dekat tiada beda
dulu, kini dan selamanya.
“Selamat Hari Valentine, Kekasihku.”
Medical Villa, Kapit
02 Februari 2012
Frankie Latit
.
Monday, February 6, 2012
Suara Kapit : Ceritera Seorang Tua di Pinggir Upaya
“Ini bukan kisah dogeng.”
Kuraup titis lelah pamit di muka
dari urat saraf hingga ke kulit tua
mengusir hembusan kalbu nan mengetar
jauh membungkam seketul hati
persis lambaian desaku dahulu
selalu membelai lembut rambutku
dingin membentuk kabus di kalbu.
Katanya lagi,
“Dulu bukannya begini
kami punya hakiki
punya nubari, ada harga diri.”
Ulas kuntum di bibir
buat kurasa tidak terpinggir
jauh rasa hendak diusir.
“Dan tanganmu itu?”
Kusinggahkan pandang di balutan
kutahu Dia ingin berteman.
Seorang Tua di pinggir waktu
terungkap resah menyelimuti kalbu,
“Kami tiada punya upaya,
tidak memiliki masa,
jadi rela kami mendukung paksa
bahagia dalam merana itu terbiasa.
Tangan ini jadi bukti
harus sesekali mengusung mimpi.”
(Langsung didepanya ke udara)
Kusapu debu memugari mimpi,
kembali mandala dibusa purnama
purba bangkit di celah kota, bercerita
Egypt, empayar kuasa teguh berdiri
Firaun pernah duduk dan bertakhta
mandala Khatulistiwa lena dicerca
jadi pasir katanya berharga, atasi mutiara,
Pyramid bisu langsung dipuja tapi ternoda
siapa sangka, sirna pasti dek masa, maha berkuasa?
Dan di sini,
di daerah Kapit nan terasing
kuterbuka peta lama
akankah ia coretan abadi?
Dicumbui hati yang melenting
atas pembangunan yang dipuja
menghanyutku dalam dilema
sedang petanya compang-camping
harus kubuka segala isinya, biarkan saja.
Langsung,
kuhimpun titisan alam
kala musim luruh di penghujung
wajahnya kelam dan berbalam
bungkam tiada mampu terhitung
jauh nun di luar sana
sekelumit rasa rasa tercerna
Sungai Rajang kudengari bicara,
“Mengapa hujan, badan yang terdera?”
Pusaran dingin aircond yang mencapah
menerobosi lembut tengkorok kepala
menghimpitku di sofa lembut
seketika kulupa teman di sebelah
terlontar jauh membadai gelora
mencelah di antara ‘rebak’ hanyut.
“Ah! Begini watak ia,
Di hilir kering, hulu jadi muara
angkara siapa atau apa?
Hutan rimba sirna rambutnya.”
Mujurku hanya lena, seketika.
Sarawak Bahagia Bot Ekspress (Sibu – Kapit)
07 Januari 2012
Frankie Latit
Monday, January 30, 2012
Suara Kapit : Suara Yang Menggamit
Sebuah pelabuhan
di pinggir bandar Sibu
bot-bot ekspress berlabuh,
bertandang, pergi dan minggir
persis tunggul ceritera nan berjerejakkan
dari ceruk hinggar-binggar di pasar tamu
timbul dan tenggelam di dasar sungai, keruh
lembah, hutan dan bukit-bukau yang dihilir.
Kata temanku,
(Waktu kubertandang ke Sibu)
“Ini peluang membelek waktu
oleh mimpi di daerah Mandiri
menyergah bayu membelakangi senja, moga ketemu
ceritera mandala lupai buana, kala berabad abadi.”
Riakku bukannya mengkuang
usai kunang-kunang terbang, yakni
berjelaga di bumi sendiri
berkelip antara neon kota
akan ke hulu jejakku, seada-adanya.
(Oleh helusan lembut memugari mimpiku
bukan kerana pelawaan temanku itu)
Di haluan tempat duduk, pilihanku
menatap cermin alam terserlah
meramas liku-liku sungai Rajang
air terpercik menerpa kaki, kusapu
pekat persis karat, akan sirnakah?
Burung banggau yang sering terbang
bertenggek di dahan rapuh kayu
berantakan dibadai arus mengila,
musim tengkujuh di bulan Disember
berkocak di danau dada, rindu kunamai ia,
semakin muncah, terhimpun pasti mengalir jua.
“Semoga di daerah Kapit
kuketemu teman buat bicara
sang kunang-kunang yang tersepit,
tak henti dihimpit, tiada puas didera
suara pawana bukan kepalang membersit,
mengelus lembut, oktafnya berjeda-jeda, berjela-jela.”
Hanya akukah yang peduli?
Wharf Ekspress Sibu
20 Disember 2011
Frankie Latit
Wednesday, July 6, 2011
Dunia Schizophernia
Antara petikan awal dan terakhir dari cerpen Dunia Schizophernia....
“Skizophrenia adalah suatu gangguan mental yang teruk dicirikan oleh penyampaian proses pemikiran, hubungan dengan kenyataan dan reaksi menurut perasaan.” Pertubuhan Kesihatan Sedunia (WHO).
Begitu yang aku ketahui tentang sebuah lorong yang kehilangan nama, ketuanan dan hampir kesemua tradisinya. Walhal, jika dirungkai kembali sejarah, alangkah indahnya pembentukan lorong itu yang digubah oleh sebuah ungkapan yang unik iaitu kesepakatan yang jitu. Tetapi oleh kerendahan hati dan timbang rasa penduduk setempat yang suatu ketika boleh diumpamakan seperti kawanan pengemis, akhirnya runtuh oleh makhluk yang bernama anjing yang terkenal dengan paradok seperti yang pernah aku nyatakan.
Lebih memeritkan lagi, seperti yang aku katakan sebelumnya, ini adalah ceritera yang sudah tersasar dalam penyampaian proses pemikiran, hubungan dengan kenyataan dan reaksi menurut perasaan. Jadi usah percaya dengan paradokku yang sememangnya bercelaru yang memungkinkan ia kelihatan seperti ingin menerapkan sedikit dasar apertied yang terubahkan di dalam sistem demokrasi. Sedangkan jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku hanya ingin menyatakan, “Berbuat baik biar berpada-pada, berbuat jahat jangan sekali-kali. Jadi perlukah untuk menyirnakan spesis anjing gila yang bergenetikkan serigala jadian?”
“Skizophrenia adalah suatu gangguan mental yang teruk dicirikan oleh penyampaian proses pemikiran, hubungan dengan kenyataan dan reaksi menurut perasaan.” Pertubuhan Kesihatan Sedunia (WHO).
Begitu yang aku ketahui tentang sebuah lorong yang kehilangan nama, ketuanan dan hampir kesemua tradisinya. Walhal, jika dirungkai kembali sejarah, alangkah indahnya pembentukan lorong itu yang digubah oleh sebuah ungkapan yang unik iaitu kesepakatan yang jitu. Tetapi oleh kerendahan hati dan timbang rasa penduduk setempat yang suatu ketika boleh diumpamakan seperti kawanan pengemis, akhirnya runtuh oleh makhluk yang bernama anjing yang terkenal dengan paradok seperti yang pernah aku nyatakan.
Lebih memeritkan lagi, seperti yang aku katakan sebelumnya, ini adalah ceritera yang sudah tersasar dalam penyampaian proses pemikiran, hubungan dengan kenyataan dan reaksi menurut perasaan. Jadi usah percaya dengan paradokku yang sememangnya bercelaru yang memungkinkan ia kelihatan seperti ingin menerapkan sedikit dasar apertied yang terubahkan di dalam sistem demokrasi. Sedangkan jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku hanya ingin menyatakan, “Berbuat baik biar berpada-pada, berbuat jahat jangan sekali-kali. Jadi perlukah untuk menyirnakan spesis anjing gila yang bergenetikkan serigala jadian?”
Wednesday, June 29, 2011
Sekuntum Puisi Di Hari Jadimu
Memang pernah aku janjikan,
Mencorakkan kanvas yang dibentangkan,
Tetapiku belum pernah mulakan,
Agar selingkar pelangi teranyamkan,
Penyeri puisi yang mencanangkan,
Sebuah ceritera cinta eceran,
Kasih yang telah dipertemukan,
Detik malam 27 Jun,
Sewaktu usiamu menjejak keremajaan.
Bukankah pernah padamu kukatakan,
“Pungguk tak jemu menangisi bulan,
Ikal dengan A Ling sememangnya sepadan (tetralogi Laskar Pelangi),
Cinta Romeo dan Juliet masih berkekalan,
Taj Mahal tetap lambang sebuah keagungan,
Cinta Kumang dan Keling adalah warisan,
Sedang Cinderella hanya ceritera khayalan.”
Kerlingan matamu seolah-olah menafikan,
“Itu secebis kisah ketinggalan zaman.”
Pernah juga kucuba beringat,
Aku bukan pujangga terhebat,
Atau anak Yang Terhormat,
Menjanjikan bintang menjadi azimat,
Menggauli mimpi dari dakwat
Sesungguhnya aku tidak larat.
Seharusnya ini bukan kebiasaan,
Waktu saksi segala-gala kejadian,
Malam berseri diterangi rembulan,
Bandaraya Kuching ceria bergemerlapan,
Gelora tenang di lautan,
Teratai layu mula berkelopakan,
Ketika malam Kita (Aku dan dirinya)diketemukan.
Masih mekar di benakku,
Dan aku bukannya penipu,
Ketika dan saat itu,
Bulan ditelan malam beradu,
Hujan berguguran tidak menentu,
Taj Mahal terus membisu,
Andrea Hirata mungkin terpaku,
Dan Shakespeare juga begitu,
Sewaktu kuserakkan isi hatiku,
“Aku sememangnya mencintaimu kekasihku!”
Kawan-kawanmu pula mulai cemburu.
“Mana mungkin?” Itu didengariku.
“Itu keajaiban.” Begitu balasmu.
Hanya senyuman hadiah dariku,
Kerana dirimu lebih tahu,
Diriku juga adalah sepertimu,
Sewaktu mata mula bertemu,
Ungkapan kalimat cinta itu,
Pasti bertamu takkan jemu,
Menghimpunkan gunung-ganang menjadi tugu,
Keindahan cintaku dan cintamu,
Persis ceritera Puteri dengan sepatu,
Selamat Hari Lahir Isteriku…..
Villa Rimba Cinta,
270611
Memang pernah aku janjikan,
Mencorakkan kanvas yang dibentangkan,
Tetapiku belum pernah mulakan,
Agar selingkar pelangi teranyamkan,
Penyeri puisi yang mencanangkan,
Sebuah ceritera cinta eceran,
Kasih yang telah dipertemukan,
Detik malam 27 Jun,
Sewaktu usiamu menjejak keremajaan.
Bukankah pernah padamu kukatakan,
“Pungguk tak jemu menangisi bulan,
Ikal dengan A Ling sememangnya sepadan (tetralogi Laskar Pelangi),
Cinta Romeo dan Juliet masih berkekalan,
Taj Mahal tetap lambang sebuah keagungan,
Cinta Kumang dan Keling adalah warisan,
Sedang Cinderella hanya ceritera khayalan.”
Kerlingan matamu seolah-olah menafikan,
“Itu secebis kisah ketinggalan zaman.”
Pernah juga kucuba beringat,
Aku bukan pujangga terhebat,
Atau anak Yang Terhormat,
Menjanjikan bintang menjadi azimat,
Menggauli mimpi dari dakwat
Sesungguhnya aku tidak larat.
Seharusnya ini bukan kebiasaan,
Waktu saksi segala-gala kejadian,
Malam berseri diterangi rembulan,
Bandaraya Kuching ceria bergemerlapan,
Gelora tenang di lautan,
Teratai layu mula berkelopakan,
Ketika malam Kita (Aku dan dirinya)diketemukan.
Masih mekar di benakku,
Dan aku bukannya penipu,
Ketika dan saat itu,
Bulan ditelan malam beradu,
Hujan berguguran tidak menentu,
Taj Mahal terus membisu,
Andrea Hirata mungkin terpaku,
Dan Shakespeare juga begitu,
Sewaktu kuserakkan isi hatiku,
“Aku sememangnya mencintaimu kekasihku!”
Kawan-kawanmu pula mulai cemburu.
“Mana mungkin?” Itu didengariku.
“Itu keajaiban.” Begitu balasmu.
Hanya senyuman hadiah dariku,
Kerana dirimu lebih tahu,
Diriku juga adalah sepertimu,
Sewaktu mata mula bertemu,
Ungkapan kalimat cinta itu,
Pasti bertamu takkan jemu,
Menghimpunkan gunung-ganang menjadi tugu,
Keindahan cintaku dan cintamu,
Persis ceritera Puteri dengan sepatu,
Selamat Hari Lahir Isteriku…..
Villa Rimba Cinta,
270611
Tuesday, June 28, 2011
Dan berkembanlah kabus di puncak Sadok
“Berundur!!! Berundur!!!!”
Pekikan dan teriakan itu seperti hilang dihembus pawana. Cuma tangisan dan erangan yang sayup-sayup menjentik cuping telinga Layang. Walhal, keadaan di sekeliling sudah menjadi semakin berantakan. Ini jelas melalui reaksi kaum ibu dan anak-anak yang pada awalnya tenang dan kemudian mula bertempiaran oleh ada beberapa buah rumah yang mula terbakar. Asap kelihatan berkepul-kepul menjulang ke udara. Julangan asap pekat yang menandakan permulaan kepada jalan kemenangan untuk pihak lain. Tetapi ia membawa pengertian yang berbeza untuk mereka setelah berusaha dari subuh hingga ke senja tanpa disedari.
Di sebelah-menyebelah desingan peluru yang bersimpang-siur seperti hujan renyai cuba membasahi dedaun tubuh manusia. Bagi yang tidak sempat berlindung, ia memaksa keringat masing-masing bertaburan seperti dedaun kering disapu pawana di musim kemarau. Semuanya melayang-layang sebelum tersembam menyembah bumi bertuah yang pernah dibangunkan dahulu dengan tulang empat kerat.
“Layang!!! Layang!!! Ingat pesanan aku!! Kita sudah kesuntukan masa!!” Teriak Tuai mereka memecah ngauman meriam Bujang Sadok yang terus-menerus gah mencumbui suasana. Sesekali muntahannya hinggap di batang pokok buah-buahan di belakang dan depan rumah. Tanpa rasa simpati, ia kelihatan sudah mencantas dan merebahkan pepohon renek yang menjadi kawasan teduhan babi dan ayam peliharaan.
“Tapi Tuai….” Sempat Layang menoleh ke arah susuk tubuh yang kedengaran mengarahkannya. Susuk badan empunya suara yang dipenuhi ukiran yang sesekali dipanah mentari senja langsung tidak dapat menyembunyikan keperkasaan dan kesasaannya. Sebelum Layang beralih memerhatikan musuh yang semakin mendesak cuba menyelinap masuk ke kota mereka. Pertaruhannya kini hanya pada parang ilang dan terabai yang masih digenggam dengan erat. Hanya itulah jamuan yang hendak disajikan untuk menyambut kehadiran tetamu mereka hari itu. Ini membuatkan Layang mengejapkan lagi genggaman. Sekukuh yang mungkin seperti semangatnya yang tidak akan luntur untuk terus mempertahankan penempatan yang sedang diambang kemusnahan.
“Ingat Layang, untuk mendapat sesuatu yang besar, kita patut banyak berkorban
perkara-perkara yang kecil. Jadikanlah hidup ini dengan keputusan diri sendiri kerana kebenaran itu ibarat air yang mengalir, sekalipun disekat ia tetap juga akan terus mengalir.”
Mengingatkan kembali kata-kata itu, akhirnya Layang mengalah juga walaupun kakinya terasa berat untuk mengorak langkah. Walhal, di belakang, kudrat Layang masih amat diperlukan untuk saat-saat seperti itu. Saat penempatan yang telah lama diduduki menerima terjahan bebola dan hujan besi yang tidak putus-putus tanpa diundang. Hampir separuh daripada dinding kota yang dibina dari kayu belian sudah menyembah bumi. Ini diporak-porandakan lagi dengan gelimpangan tubuh kaum kerabatnya dan juga kaum kerabat musuh yang berjaya menyelinap yang sudah kaku.
Lebih memeritkankan lagi hati Layang, darah hanyir yang menyapa rongga hidungnya sama sahaja baunya. Baunya teramat Layang kenal. Ia adalah darah anak peribumi sendiri. Tetapi apa yang termampu Layang lakukan, itu adalah pilihan masing-masing. Pilihan yang menyerlahkan pertimbangan akal dan niat masing-masing.
Bertemankan langkah yang semakin longlai menuruni bukit yang curam, sesekali Layang sempat merenung dada langit yang sedikit pekat. Ini dengan sengaja seperti mengajak Layang untuk menyelongkar kembali timbunan kenangan yang dilonggokkan sepanjang hidupnya. Sesekali mendesak Layang untuk kembali berfikir tentang pepatah lama, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna yang sering didengarinya. Mujur, keputusan Layang sebelum ini tidak pernah pula akan disesali sehingga kini.
Ini amat jelas, sehingga keadaan yang berlaku tadi tidak pula terasa mampu meretakkan semangat juang Layang walaupun sedikit. Layang mungkin menyesal kerana ramai yang tidak memahami dan mengenali insan yang menjadi pujaannya itu. Selain terus menjadi pengikut setianya untuk bersama-sama menunjangkan semangat juang yang kental. Yakni sepertimana ia telah lama memekari nubari Layang. Inilah yang memaksa Layang untuk menggalas tugas yang bersimpuh di pundak sehingga ke penghujung nyawa. Itu bukan janji Layang terhadap dirinya tetapi janji terhadap nusa dan bangsa.
Bahkan, sehingga ke saat itu, semuanya masih jelas tentang keadaan yang berlaku malam sebelumnya di benak Layang. Satu persatu ia bercantum membentuk bayang-bayang yang jelas di mata hati Layang. Serentak ia cuba menarik jasad Layang yang berketul-ketul gumpalannya menjadi tanah. Kemudian meresap jauh sehingga menjangkau sempadan yang tidak terungkap dek akal. Hanya kepanasan yang meruap-ruap menyapa tubuhnya.
“Sesiapa yang merasakan diri sebagai keturunan pengecut bolehlah mengundurkan diri. Biarkan Apai Saloi dengan kebodohannya. Sekalipun ayam sabung menang tanah tetapkan tergadai.” Sempat Layang menjeling ke arah empunya suara. Walaupun ucapannya ringkas tetapi ia cukup untuk membentuk gelombang benak di dada Layang. Menggelegak darah Layang kerana cuba menelan setiap bait-bait kebenaran itu yang dirasakan meronta-ronta cuba menerobosi setiap inci dan sudut ruang tengkorak pejalnya. Namun itulah hakikat, kebenaran itu adalah sesuatu yang pahit untuk ditelan.
Tambah memeritkan, Layang mula membayangkan, betapa di masa akan datang kaum kerabatnya akan merempat seada-adanya. Dengan hormat juga akan terhambat seperti anjing liar di bumi sendiri. Kemudian akan dihalau pula seperti anjing kurap yang hanya pandai menagih simpati. Sedangkan di sudut lain, ia bukan bumi asing tetapi sengaja melabelkan orang asing sebagai tuan di bumi sendiri.
“Baik engkau ikut jejak aku.”
Antara karya terbaru yang terkial-kial aku siapkan. huhu... aku tepu idea di tengkorak pejalku atau sememangnya tengkorakku sudah hampagas.
Pekikan dan teriakan itu seperti hilang dihembus pawana. Cuma tangisan dan erangan yang sayup-sayup menjentik cuping telinga Layang. Walhal, keadaan di sekeliling sudah menjadi semakin berantakan. Ini jelas melalui reaksi kaum ibu dan anak-anak yang pada awalnya tenang dan kemudian mula bertempiaran oleh ada beberapa buah rumah yang mula terbakar. Asap kelihatan berkepul-kepul menjulang ke udara. Julangan asap pekat yang menandakan permulaan kepada jalan kemenangan untuk pihak lain. Tetapi ia membawa pengertian yang berbeza untuk mereka setelah berusaha dari subuh hingga ke senja tanpa disedari.
Di sebelah-menyebelah desingan peluru yang bersimpang-siur seperti hujan renyai cuba membasahi dedaun tubuh manusia. Bagi yang tidak sempat berlindung, ia memaksa keringat masing-masing bertaburan seperti dedaun kering disapu pawana di musim kemarau. Semuanya melayang-layang sebelum tersembam menyembah bumi bertuah yang pernah dibangunkan dahulu dengan tulang empat kerat.
“Layang!!! Layang!!! Ingat pesanan aku!! Kita sudah kesuntukan masa!!” Teriak Tuai mereka memecah ngauman meriam Bujang Sadok yang terus-menerus gah mencumbui suasana. Sesekali muntahannya hinggap di batang pokok buah-buahan di belakang dan depan rumah. Tanpa rasa simpati, ia kelihatan sudah mencantas dan merebahkan pepohon renek yang menjadi kawasan teduhan babi dan ayam peliharaan.
“Tapi Tuai….” Sempat Layang menoleh ke arah susuk tubuh yang kedengaran mengarahkannya. Susuk badan empunya suara yang dipenuhi ukiran yang sesekali dipanah mentari senja langsung tidak dapat menyembunyikan keperkasaan dan kesasaannya. Sebelum Layang beralih memerhatikan musuh yang semakin mendesak cuba menyelinap masuk ke kota mereka. Pertaruhannya kini hanya pada parang ilang dan terabai yang masih digenggam dengan erat. Hanya itulah jamuan yang hendak disajikan untuk menyambut kehadiran tetamu mereka hari itu. Ini membuatkan Layang mengejapkan lagi genggaman. Sekukuh yang mungkin seperti semangatnya yang tidak akan luntur untuk terus mempertahankan penempatan yang sedang diambang kemusnahan.
“Ingat Layang, untuk mendapat sesuatu yang besar, kita patut banyak berkorban
perkara-perkara yang kecil. Jadikanlah hidup ini dengan keputusan diri sendiri kerana kebenaran itu ibarat air yang mengalir, sekalipun disekat ia tetap juga akan terus mengalir.”
Mengingatkan kembali kata-kata itu, akhirnya Layang mengalah juga walaupun kakinya terasa berat untuk mengorak langkah. Walhal, di belakang, kudrat Layang masih amat diperlukan untuk saat-saat seperti itu. Saat penempatan yang telah lama diduduki menerima terjahan bebola dan hujan besi yang tidak putus-putus tanpa diundang. Hampir separuh daripada dinding kota yang dibina dari kayu belian sudah menyembah bumi. Ini diporak-porandakan lagi dengan gelimpangan tubuh kaum kerabatnya dan juga kaum kerabat musuh yang berjaya menyelinap yang sudah kaku.
Lebih memeritkankan lagi hati Layang, darah hanyir yang menyapa rongga hidungnya sama sahaja baunya. Baunya teramat Layang kenal. Ia adalah darah anak peribumi sendiri. Tetapi apa yang termampu Layang lakukan, itu adalah pilihan masing-masing. Pilihan yang menyerlahkan pertimbangan akal dan niat masing-masing.
Bertemankan langkah yang semakin longlai menuruni bukit yang curam, sesekali Layang sempat merenung dada langit yang sedikit pekat. Ini dengan sengaja seperti mengajak Layang untuk menyelongkar kembali timbunan kenangan yang dilonggokkan sepanjang hidupnya. Sesekali mendesak Layang untuk kembali berfikir tentang pepatah lama, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna yang sering didengarinya. Mujur, keputusan Layang sebelum ini tidak pernah pula akan disesali sehingga kini.
Ini amat jelas, sehingga keadaan yang berlaku tadi tidak pula terasa mampu meretakkan semangat juang Layang walaupun sedikit. Layang mungkin menyesal kerana ramai yang tidak memahami dan mengenali insan yang menjadi pujaannya itu. Selain terus menjadi pengikut setianya untuk bersama-sama menunjangkan semangat juang yang kental. Yakni sepertimana ia telah lama memekari nubari Layang. Inilah yang memaksa Layang untuk menggalas tugas yang bersimpuh di pundak sehingga ke penghujung nyawa. Itu bukan janji Layang terhadap dirinya tetapi janji terhadap nusa dan bangsa.
Bahkan, sehingga ke saat itu, semuanya masih jelas tentang keadaan yang berlaku malam sebelumnya di benak Layang. Satu persatu ia bercantum membentuk bayang-bayang yang jelas di mata hati Layang. Serentak ia cuba menarik jasad Layang yang berketul-ketul gumpalannya menjadi tanah. Kemudian meresap jauh sehingga menjangkau sempadan yang tidak terungkap dek akal. Hanya kepanasan yang meruap-ruap menyapa tubuhnya.
“Sesiapa yang merasakan diri sebagai keturunan pengecut bolehlah mengundurkan diri. Biarkan Apai Saloi dengan kebodohannya. Sekalipun ayam sabung menang tanah tetapkan tergadai.” Sempat Layang menjeling ke arah empunya suara. Walaupun ucapannya ringkas tetapi ia cukup untuk membentuk gelombang benak di dada Layang. Menggelegak darah Layang kerana cuba menelan setiap bait-bait kebenaran itu yang dirasakan meronta-ronta cuba menerobosi setiap inci dan sudut ruang tengkorak pejalnya. Namun itulah hakikat, kebenaran itu adalah sesuatu yang pahit untuk ditelan.
Tambah memeritkan, Layang mula membayangkan, betapa di masa akan datang kaum kerabatnya akan merempat seada-adanya. Dengan hormat juga akan terhambat seperti anjing liar di bumi sendiri. Kemudian akan dihalau pula seperti anjing kurap yang hanya pandai menagih simpati. Sedangkan di sudut lain, ia bukan bumi asing tetapi sengaja melabelkan orang asing sebagai tuan di bumi sendiri.
“Baik engkau ikut jejak aku.”
Antara karya terbaru yang terkial-kial aku siapkan. huhu... aku tepu idea di tengkorak pejalku atau sememangnya tengkorakku sudah hampagas.
Subscribe to:
Posts (Atom)